Minggu, 29 Januari 2012

Ramang, tragedi keniraksaraan


Ramang, sebuah nama yang samar, tidak banyak yang mengetahui siapa dia tapi minimal barangkali banyak orang yang pernah mendengar namanya. Ramang adalah pemain sepakbola Indonesia era 50-an. Di jamannya Indonesia mendapat kehormatan sebagai salah satu tim kuat dunia. Salah satu pertandingan fenomenal adalah ketika Indonesia berhasil menahan imbang kosong-kosong tim sepakbola Uni Soviet, tim no. 1 dunia pada saat itu. Pertandingan itupun sebenarnya hampir dimenangkan Indonesia jika saja soviet tidak bermain curang dengan menarik baju Ramang persis sebelum ia menembakkan bolanya ke gawang Uni Soviet.
Sebelum itu, rangkaian pertandingan Indonesia ke berbagai negara Asia di tahun 1954, PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan kemenangan menyolok. PSSI hanya kebobolan 6 gol, dan berhasil memasukkan gol sebanyak 25 gol, 19 diantaranya lahir di kaki emas Ramang.
Namun, kegemilangan Ramang di lapangan bola berbanding terbalik dengan kehidupan sehari-harinya. Ia pribadi yang rendah hati, ia mengatakan berbagai kemenangan tersebut adalah prestasi tim, ia hanya salah satu dari tim tersebut. Sehari-hari ia hanya bekerja sebagai kernet dan tukang becak, sebelum diangkat sebagai pegawai pada Dinas Pekerjaan Umum bergaji Rp. 3.500,- perbulan dengan jabatan sebagai opas. Gaji tersebut tidak pernah naik hingga ia berhenti karena kecintaannya bermain bola. Selanjutnya ia hanya hidup dari bonus bermain bola, yang jumlahnya kecil dan tidak menentu , karena pemain bola pada masa itu sangat berbeda dengan pemain bola sekarang yang berkelimpahan rezeky. Tidak ada orang yang bisa hidup nyaman dengan mengandalkan bola. Tidak ada gaji yang besar untuk pemain bola professional waktu itu.
Ramang, berhenti bermain bola pada tahun 1960, ia dikenakan skorsing selama 2 tahun dengan tuduhan menerima suap. Tahun 1962 ketika ia kembali bermain bola, ia tidak lagi secemerlang sebelumnya, dan akhirnya pensiun pada tahun 1968 pada usia 40 tahun.
Berhenti jadi pemain, ia sempat menjadi pelatih bagi Persipal Palu, dan kembali ia mengantar Persipal Palu sebagai salah satu tim yang disegani di Indonesia. Ia juga sempat melatih PSM Makassar, tim yang mengantar namanya ke pentas nasional, namun ia perlahan disingkirkan karena tidak memiliki ijazah kepelatihan.
Ia memang tidak memiliki ijazah kepelatihan, jangankan itu ijazah setara SD pun tak punya. Ia hanya sempat sekolah di Sekolah Rakyat, namun tidak lulus dan tidak mendapat ijazah. Sehingga praktis ia tidak memiliki kompetensi akademik tuk bertahan didunia yang mensyaratkan selembar ijazah bukti kompetensi. Ia pemain bola alami, dibentuk oleh alam, bakat yang turun dari bapaknya, seorang pemain sepak raga kerajaan Gowa. Ia berlatih bola dengan apa saja, dengan bola anyaman rotan, gulungan kain hingga buah jeruk kecil adalah latihannya menendang bola.


Ramang adalah profil manusia buta aksara, jika saja ia hidup sekarang, ia mungkin target utama dalam upaya pemberantasan buta aksara. Tiadanya ijazah menenggelamkan semua peluang yang mungkin diraihnya. Seandainya saja ia punya ijazah kepelatihan, yang bisa dia peroleh karena adanya ijazah pendidikan lengkap dari SD hingga SMU atau bahkan sarjana, ia tentu dapat terus bertahan sebagai pelatih PSM bahkan mungkin pelatih nasional. Dan ia bisa mempertahankan prestasi sepak bola nasional, setidaknya bisa terus menjajal kekuatan sepakbola dunia. Ia pun bisa mendaftar sebagai calon bupati, ataupun calon gubernur, bahkan menjadi anggota dewan, ataupun menjadi presiden. Tetapi tiadanya ijazah membuat ia tenggelam dan hidup miskin hingga akhir hayatnya. Meninggal di rumah kecil bersama anak, menantu dan cucunya berjumlah 19 orang di tahun 1987. Meninggal setelah selama 6 tahun menderita sakit radang paru-paru tanpa mampu berobat ke rumah sakit karena kemiskinannya. Jatuh sakit seusai melatih anak-anak PSM dibawah guyuran hujan.

Popular Posts